Senin, 19 Januari 2009

JANGAN DULU MENOLAK BHP





Mengapa lebih banyak universitas terbaik ada di AS, bukan Eropa? Bukankah Eropa yang merintis munculnya universitas modern?
Menurut The Times Higher Education Supplement (THES) 2007, 12 universitas AS berada di top 20 dan Eropa hanya punya empat wakil (semua dari Inggris). Survei Shanghai Jiao Tong University 2007 lebih mencengangkan, ada 17 universitas AS (Eropa hanya dua) yang ada di top 20.
Kunci keberhasilan universitas AS adalah independensinya terhadap negara. Universitas AS (bahkan yang PTN) bisa memperoleh dana dari berbagai sumber, seperti donatur, bisnis, negara, dan mahasiswa. Eropa dengan ideologi negara sejahtera menganggap universitas sebagai layanan publik. Dari profesor sampai tukang sapu universitas merupakan pegawai negeri. Akibatnya, organisasi universitas amat kaku, meritokrasi tidak muncul. Dengan kata lain, dosen malas atau rajin digaji sama.
Sebaliknya, karena lebih independen terhadap negara, universitas AS bisa melakukan mekanisme kontrol terhadap dosennya. Profesor cemerlang bisa digaji lebih tinggi. Selain itu, karena penghasilan ditopang mahasiswa, universitas AS lebih akuntabel dalam proses belajar-mengajar.
Independensi menjadi salah satu agenda reformasi universitas di Eropa. Konsekuensinya, SPP naik. Banyak yang menganggap kenaikan ini akan menghambat akses kelas bawah bisa kuliah. Majalah The Economist membantahnya: dengan SPP murah pun mayoritas mahasiswa Eropa berasal dari kelas menengah atas. Justru di AS seperempat mahasiswa dari golongan miskin. Di AS, negara (dan lembaga filantropi) ternyata mampu menyediakan dana pendidikan universitas bagi orang miskin.

Bagaimana Indonesia?

Banyak pihak menentang upaya menjadikan PTN lebih independen (dalam bentuk badan hukum pendidikan/BHP). BHP dinilai mengakibatkan SPP mahal. Ujungnya, hanya orang kaya yang mampu kuliah di PTN. BHP hanya dalih komersialisasi universitas. Pendapat lebih ekstrem menyatakan, BHP adalah upaya negara melepas tanggung jawabnya di bidang pendidikan tinggi.
Mereka yang berpendapat BHP akan menghambat akses orang miskin bisa membaca The Economist tahun 2005. Di Eropa, dengan biaya amat murah pun, mayoritas mahasiswa dari kelas menengah atas. Kasus yang sama mungkin terjadi di Indonesia. Seleksi PTN (pra-BHMN atau BHP) yang hanya berdasar prestasi akademik justru membuat calon mahasiswa dari kelas menengah memiliki kesempatan lebih besar masuk PTN (terutama yang favorit) karena memiliki fasilitas lebih baik. Justru di sinilah letak ketidakadilan: kelas menengah atas mendapat subsidi pendidikan karena mampu masuk PTN.
PTN di Indonesia juga tak efisien. Dibandingkan PTS, rasio pegawai dosen dan nondosen dengan mahasiswa (reguler) PTN lebih rendah. Ketidakefisienan mengakibatkan biaya rutin PTN tinggi.

Kinerja pengajaran dosen PTN juga terkenal payah. ”Dosen biasa di luar” menjadi istilah umum. Hal ini mengacu banyaknya dosen jarang di kampus, ngobyek di tempat lain. Dosen semacam itu sering melimpahkan tugas mengajar kepada asisten. Hampir sepanjang semester, dosen tidak menjalankan tugasnya (dan tetap mendapat gaji penuh!).
Atasan dosen itu, dari kepala program diploma sampai rektor tidak berdaya menghadapi dosen semacam itu karena mereka pegawai negeri yang hanya bisa diberhentikan oleh menteri. Kinerja dosen PTN banyak yang tidak lebih baik dari anggota DPR(D). Bagaimana pendidikan tinggi bisa bersaing jika ketidakdisiplinan dibiarkan?

Pandangan optimistis

Jika Indonesia ingin menghilangkan mentalitas ”murah meriah” dalam pendidikan tinggi (khususnya PTN), PTN harus independen (termasuk dalam menentukan SPP). PTN yang independen bisa merekrut dosen berkualitas dengan tawaran gaji lebih tinggi, memecat dosen pemalas dan tidak berkualitas, dan meningkatkan kualitas perkuliahan dan penelitian.
Negara harus bertanggung jawab memberi akses kepada mahasiswa miskin untuk menempuh pendidikan di PT(N). Bentuk tanggung jawab itu bisa berupa kuota, pembebasan uang kuliah, beasiswa, subsidi, atau pinjaman lunak (semacam Higher Education Contribution Scheme di Australia). Alokasi dana itu harus tak mengurangi independensi PTN.
Pengalaman Perancis mungkin bisa dijadikan cermin. Tidak satu pun universitas Perancis masuk Top 20. Hanya ada satu universitas Perancis yang masuk Top 40 menurut survei Shanghai Jiao Tong 2007 (dua universitas menurut THES 2007). Tak heran jika Presiden Nicolas Sarkozy mengeluh. ”Mengapa tidak ada universitas Perancis yang bisa bersaing dalam elite dunia? Mengapa universitas Perancis tidak punya lapangan olahraga memadai dan perpustakaan yang buka pada hari Minggu?”

Kurangnya independensi dan meritokrasi, itulah jawabnya.

Ronny Prabowo Dosen FE UKSW Salatiga