Senin, 15 Desember 2008

Parpol "Menghukum" Nomor Urut Satu

Ketika penyusunan daftar calon anggota DPR/DPRD dimulai, sulit dibantah jika calon pasti senang ditempatkan di nomor urut atas. Namun, ketika partai politik menerapkan suara terbanyak untuk menentukan calon terpilih, belum tentu rasa senang itu masih bertahan. Siapa bilang nomor urut atas daftar calon anggota DPR/DPRD menguntungkan?

Betul, nomor urut atas bisa menguntungkan jika acuannya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Nomor urut atas bisa mendapat prioritas dalam pembagian kursi DPR/DPRD yang diperoleh parpol. Pasal 214 Butir a menyatakan, ”calon terpilih anggota DPR atau DPRD ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30 persen dari bilangan pembagi pemilihan (BPP).”

Nomor urut tetap sakti dalam berbagai kondisi. Pertama, jika calon yang memperoleh minimal 30 persen BPP jumlahnya lebih banyak ketimbang jumlah kursi yang diperoleh parpol peserta pemilu, kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30 persen BPP. Yang lain, jika calon yang memperoleh minimal 30 persen BPP lebih sedikit ketimbang jumlah kursi yang diperoleh parpol, kursi yang belum terbagi diberikan pada calon berdasarkan nomor urut.

”Terhukum” nomor satu

Namun, sejumlah parpol menerapkan ketentuan yang berbeda. Misalnya, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, dan Partai Golkar menetapkan penerapan prinsip suara terbanyak dalam penetapan calon terpilih. Alasannya, menghargai suara rakyat. Pertimbangan praktis, penerapan suara terbanyak akan mendorong semua calon anggota legislatif (caleg) bekerja keras meraih suara. Nomor urut atas belum tentu aman, yang nomor buncit pun punya peluang. Pertimbangan itulah yang mendorong upaya perubahan terbatas atas UU No 10/2008.

Faktanya, sampai saat ini nasib usul perubahan terbatas UU No 10/2008 belum jelas. Jika akhirnya perubahan terbatas tak terjadi, ketentuan penetapan calon terpilih mengikuti aturan UU No 10/2008. Penerapan prinsip suara terbanyak terjadi pada tahapan penggantian calon terpilih. Jika ternyata calon terpilih yang ditetapkan KPU bukan calon parpol di sebuah daerah pemilihan tertentu dengan perolehan suara terbanyak; calon terpilih itu mesti diganti.

Pasal 218 Ayat 3 UU No 10/2008 menyatakan, calon terpilih anggota DPR dan DPRD diganti dengan calon dari daftar calon tetap parpol peserta pemilu pada daerah pemilihan yang sama berdasarkan surat keputusan pimpinan parpol bersangkutan. Alasan penggantian, antara lain, meninggal, mengundurkan diri, tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota, dan terbukti berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap calon terpilih melakukan tindak pidana pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen. Merujuk bagian penjelasan, pengunduran diri calon terpilih dinyatakan dengan surat penarikan pencalonan oleh parpol peserta pemilu berdasarkan surat pengunduran diri calon terpilih yang bersangkutan.

Artinya, tekanan akan berpindah ke calon nomor urut atas, jika perolehan suaranya bukan yang terbanyak. Calon nomor urut atas yang ditetapkan sebagai calon terpilih ”wajib” mengundurkan diri untuk digantikan calon lain. Jika itu yang terjadi, calon nomor urut atas itu bakal kehilangan haknya sebagai calon sampai pemilu berikutnya. Artinya, jika calon penggantinya mesti diganti lagi, calon yang telah mundur tidak bisa menggantikan sekalipun perolehan suaranya pada urutan berikutnya.

Kekuatan hukum

Faktanya secara legal-formal sulit dibantah: saat pendaftaran, calon menandatangani formulir surat pengunduran diri yang tanpa dibubuhi tanggal. Parpol yang menerapkan prinsip suara terbanyak mewajibkan calon anggotanya untuk menandatangani surat kesediaan ditugaskan di mana saja dan surat pengunduran diri. Partai Golkar bahkan mengukuhkan penerapan prinsip suara terbanyak berikut sanksinya saat rapat pimpinan nasional di Jakarta, pertengahan Oktober silam.

”Improvisasi” ala Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) lain lagi. Surat yang ditandatangani Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal Pramono Anung tertanggal 21 Agustus 2008 mewajibkan calon anggota DPR/DPRD membuat surat pernyataan pengunduran diri bermeterai dan salah satunya diserahkan kepada pengurus partai. Dapat ditebak, surat itu pastilah berkaitan dengan surat sebelumnya tertanggal 4 Agustus 2008 yang menyebutkan untuk menjadi calon terpilih, seorang calon anggota DPR/DPRD mesti memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen BPP. Jika tidak, PDI-P akan mempertimbangkan yang bersangkutan diganti dengan calon yang memperoleh suara lebih dari 15 persen BPP.

Saat wacana nepotisme di tubuh parpol mencuat, Partai Demokrat merespons dengan ”memelorotkan” nomor urut Edhie Baskoro Yudhoyono dari daftar calon. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Achmad Mubarok menyebutkan, Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono mencoret Edhie Yudhoyono dari nomor urut satu ke nomor tiga pada daftar calon anggota DPR. (sidik pramono)

Tidak ada komentar: